UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
INTELLIGENCE TO BE ADVANCE
Alamat : Jl. Seroja, Gang Jeruk, Kelurahan Tonja Denpasar Utara, Bali 80239
Telp : (0361) 4747770 | 081238978886 | 085924124866
Email : iik.medali[at]gmail.com
UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
INTELLIGENCE TO BE ADVANCE
CERVICAL ROOT SYNDROME
  1 May 2023 - Dibaca 218 kali
  Oleh Administrator
Pengertian Cervical Root Syndrome (CRS)

Cervical root syndrome adalah kondisi yang menyakitkan dimana saraf menjadi terjepit saat keluar dari sumsum tulang belakang yang disebabkan oleh iritasi penekanan akar saraf servikal oleh penonjolan atau kerusakan diskus intervertebralis. Saraf dikompresi baik dari hernia disc atau taji tulang degeneratif yang timbul dari leher. Perjalanan saraf dari leher, punggung atas dan lengan, dan dapat merujuk gejala ke daerah-daerah yang disarafi. Gejala yang dialami dapat menjadi sakit, mati rasa, kesemutan, kelemahan atau kombinasi dari ini (Eubanks, 2010). 

Etiologi Cervical Root Syndrome

Penyebab yang paling sering pada terjadinya CRS adalah adanya penyempitan pada foramen intervertebralis saraf spinal cervical karena kombinasi dari beberapa faktor yaitu penurunan tinggi discus, atau proses degenerasi pada tulang vertebra cervical. Faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya CRS adalah posisi kerja yang tidak ergonomis, dan juga adanya trauma pada leher. (Rs.Dr.Soetomo Surabaya,2016-2017)

Biasanya rasa nyeri berasal dari jaringan lunak atau ligament, akar saraf, faset artikular, kapsul, otot serta duramater. Nyeri bisa diakibatkan oleh proses degeneratif, infeksi/inflamasi, iritasi dan trauma. Selain itu perlu juga diperhatikan adanya nyeri alih dari organ atau jaringan lain yang merupakan distribusi dermatomal yang dipersarafi oleh saraf servikal.

Radiks anterior dan posterior bergabung menjadi satu berkas di foramen intervertebral dan disebut saraf spinal. Berkas serabut sensorik dari radiks posterior disebut dermatome. Pada permukaan thorax dan abdomen, dermatome itu selapis demi selapis sesuai dengan urutan radiks posterior pada segmen-segmen medulla spinalis C3-C4 dan T3-T12. Tetapi pada permukaan lengan dan tungkai, kawasan dermatome tumpang tindih oleh karena berkas saraf spinal tidak langsung menuju ekstremitas melainkan menyusun plexus dan fasikulus terkebih dahulu baru kemudian menuju lengan dan tungkai. Karena itulah penataan amelar dermatome C5-T2 dan L2-S3 menjadi agak kabur.

Segala sesuatunya yang bisa merangsang serabut sensorik pada tingkat radiks dan foramen intervertebral dapat menyebabkan nyeri radikuler, yaitu nyeri yang berpangkal pada tulang belakang tingkat tertentu dan menjalar sepanjang kawasan dermatome radiks posterior yang bersangkutan. Osteofit, penonjolan tulang karena faktor congenital, nukleus pulposus atau serpihannya atau tumor dapat merangsang satu atau lebih radiks posterior.

Patofisiologi Cervical Root Syndrome 

Menurut Rooper (2005) dalam Esta (2016) menyatakan bahwa Patofisiologi CRS ditemukan adanya perubahan struktur anatomis pada discus intervertebralis, kadar air didalam nucleus pulposus berkurang salah satu penyebabnya karena degenerasi. Discus intervertebralis mengalami penyempitan dan jarak antar tulang belakang menjadi semakin dekat dan ruang antar discus menyempit, selanjutnya terjadi penekanan pada annulus fibrosus yang mengakibatkan annulus fibrosus menonjol keluar.

Menurut John (2007) dalam Esta (2016) menyatakan bahwa saraf yang mengalami penekanan awal mulanya akan bengkok, saraf akan terjebak pada dinding foramen intervertebralis, sehingga dapat mengganggu peredaran darah. Selanjutnya terjadi peningkatan sensitifitas saraf pada saraf yang mengalami penekanan, hal ini dapat mengakibatkan terjadinya perubahan fisiologis. Apabila terjadi penekanan saraf pada dorsal root ganglion maka akan menimbulkan rasa nyeri, penyebaran rasa nyeri ini sesuai dengan dermatom saraf yang mengalami penjepitan. (Esta, 2016).

Menonjolnya bagian discus ini maka jaringan sekitarnya yaitu corpus-corpus vertebrae yang berbatasan akan terjadi suatu perubahan. Perubahannya yaitu terbentuknya jaringan ikat baru yang dikenal dengan nama osteofit. Kombinasi antara menipisnya discus yang menyebabkan penyempitan ruangan discus dan timbulnya osteofit akan mempersempit diameter kanalis spinalis. Pada kondisi normal diameter kanalis spinalis adalah 17 mm sampai 18 mm. Tetapi pada kondisi CRS, kanalis ini menyempit dengan diameter pada umumnya antara 9 mm sampai 10 mm.

Pada keadaan normal, akar-akar saraf akan menempati seperempat sampai seperlima, sedangkan sisanya akan diisi penuh oleh jaringan lain sehingga tidak ada ruang yang tersisa. Bila foramen intervertebralis ini menyempit akibat adanya osteofit, maka akar-akar saraf yang ada didalamnya akan tertekan. Saraf yang tertekan ini mula-mula akan membengkok. Perubahan ini menyebabkan akar-akar saraf tersebut terikat pada dinding foramen intervertebralis sehingga mengganggu peredaran darah. Selanjutnya kepekaan saraf akan terus meningkat terhadap penekanan, yang akhirnya akar-akar saraf kehilangan sifat fisiologisnya.

Tanda dan Gejala Cervical Root Syndrome

 Pada kasus Cervical Root Syndrome ada beberapa tanda dan gejala yang di timbulkan dan dapat menghambat aktivitas sehari-hari yang kita lakukan. Berkut beberapa tanda dan gejala yang umumnya terjadi pada Cervical Root Syndrome yaitu :

  1. Nyeri yang menjalar ke bahu dan ekstremitas atas.
  2. Sensasi pegal yang diakibatkan oleh ketegangan otot (muscle spasme).
  3. Kekakuan pada leher belakang.

Dan ada beberapa tanda dan gejala tambahan yang akan terjadi pada pasien yang mengalami Cervical Root Syndrome akibat tanda dan gejala umum diatas yaitu :

  1. Telinga Berdengung
  2. Penglihatan Kabur
  3. Sakit Kepala
  4. Pusing
  5. Kelelahan 
Pemeriksaan Fisioterapi Pada Kasus Cervical Root Syndrome

Sebelum memberikan intervensi maupun latihan pada pasien, sebaiknya melakukan test khusus untuk Cervical Root Syndrome pada leher seperti :

1.Tes Spurling atau tes Kompresi Foraminal

Dilakukan dengan cara posisi leher diekstensikan dan kepala dirotasikan ke salah satu sisi, kemudian berikan tekanan ke bawah pada puncak kepala. Hasil positif bila terdapat nyeri radikuler ke arah ekstremitas ipsilateral sesuai arah rotasi kepala. Pemeriksaan ini sangat spesifik namun tidak sensitif guna mendeteksi adanya radikulopati servikal. Pada pasien yang datang ketika dalam keadaan nyeri, dapat dilakukan distraksi servikal secara manual dengan cara pasien dalam posisi supinasi kemudian dilakukan distraksi leher secara perlahan. Hasil dinyatakan positif apabila nyeri servikal berkurang.

2.Tes Valsava

Dengan tes ini tekanan intratekal dinaikkan, bila terdapat proses desak ruang di kanalis vertebralis bagian cervical, maka dengan di naikkannya tekanan intratekal akan membangkitkan nyeri radikuler. Nyeri syaraf ini sesuai dengan tingkat proses patologis dikanalis vertebralis bagian cervical. Cara meningkatkan tekanan intratekal menurut Valsava ini adalah pasien disuruh mengejan sewaktu ia menahan nafasnya. Hasil positif bila timbul nyeri radikuler yang berpangkal di leher menjalar ke lengan.

Test pemeriksaan fungsional untuk Cervical Root Syndrome pada leher yaitu:

Neck Disability Index (NDI):  merupakan satu satunya alat ukur berupa kuesioner yang mengevaluasi intensitas nyeri dan aktivitas sehari-hari dan mengukur tingkat keterbatasan dalam melakukan kegiatan sehari-hari. NDI sering digunakan sebagai alat ukur untuk menilai dampak dari nyeri leher pada aktivitas fungsional. Timbulnya nyeri dan penurunan kekuatan otot dengan adanya kompensasi tulang yang tidak seimbang sehingga muncul permasalahan pada m. trapezius, m. Levator, m.sternocleaimadeus dengan postur kepala yang condong kedepan. Kemudian, dilakukan pengukuran penurunan nyeri pada cervical root syndrome, pengukuran kekuatan otot, dan pengukuran kemampuan aktivitas fungsional.

 Modalitas Fisioterapi

Penanganan yang dilakukan oleh fisioterapi untuk kasus Cervical Root Syndrome ini yaitu pada rasa nyeri, spasme, dan penurunan kekuatan otot leher, serta adanya hambatan pada saat ingin melakukan aktivitas fungsionalnya seperti mengangkat benda berat. Kasus ini dapat ditangani dengan beberapa metode fisioterapi, yaitu dengan terapi modalitas dan exercise therapy.

Modalitas yang dapat diberikan pada kondisi ini antara lain seperti Infrared Rediation (IRR), Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation (TENS), dan excercise therapy (Nugraha, 2015).

1. Infrared Radiation atau radiasi sinar infra merah

Infra red merupakan suatu pancaran gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang 7.700 sampai 4 juta Amstrong. Sinar infrared dengan gelombang pendek (7.700-12.000 A) penetrasinya sampai pada lapisan dermis yaitu dibawah kulit. Sedangkan untuk gelombang panjang (diatas 12.000 A) penetrasinya sampai pada lapisan superficial epidermis. Dengan efek panas tersebut secara tidak langsung atau secara otomatis temperatur akan naik dan akan mempengaruhi beberapa aspek diantaranya adalah meningkatkan proses metabolisme, vasodilatasi pembuluh darah, pemanasan yang ringan akan bersifat sedatif, peningkatan temperatur tersebut disamping membantu relaksasi juga akan meningkatkan kemampuan kontraksi otot, dan menaikkan temperatur tubuh (Usman, 2012 yang dikutip dari Nugraha, 2015). Penelitian Nugraha (2015) ini juga membuktikan bahwa infrared efektif dalam mengurangi nyeri dan merileksasikan otot para cervical pada kasus Cervical Root Syndrome.

2. Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation (TENS)

TENS adalah suatu modalitas yang menggunakanenergi listrik untuk merangsang sistem saraf melalui permukaan kulit dalam hubungannyadengan modulasi nyeri (Slamet, 2006 dikutip oleh Widodo, 2015). Pada saat pemberian TENSjuga akan terjadi peningkatan beta endorphin dan met-enkephalin yang memperlihatkan efekantinosiseptif. Berdasarkan penelitian dari Susanto (2013), menyatakan bahwa TENS efektifdalam penurunan rasa nyeri pada kasus Cervical Root Syndrome ini. Karena pada pemberianTENS mengikuti prinsip dari gate control theory, dimana rangsangan terhadap nosiceptor Adelta fiber dan C fiber akan menyebabkan substansi gelatinosa tidak aktif dan menjadikan gate terbukayangmemungkinkanimplusnoksius diteruskankeotak,sehinggadapatmerasakanrasanyeri(Widodo,2015).

Kemudian dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Fadilah(2018),menyebutkanbahwaterapidenganmodalitasinfrared danTENSinidilakukansebanyak 6 kali dengan intensitas seminggu 2 kali efektif pada kasus ini. Sehingga denganbegitu dapat diperoleh hasil berupa berkurangnya rasa nyeri dan spasme, serta lingkup geraksendi(LGS)yangmengalamipeningkatan(Fadilah,2018).

3. Traksi Cervical

Dapat menurunkan gejala radikuler. Secara teori, traksi mengalihkan foramen saraf yang menjepit dan mendekompresi akar saraf yang terkena. Biasanya, delapan sampai 12 lb traksi diterapkan pada sudut sekitar 24 derajat fleksi selama 15 sampai 20 menit interval. Traksi paling bermanfaat ketika nyeri otot akut telah mereda dan tidak boleh digunakan pada pasien yang memiliki tanda-tanda myelopathy.Tinjauan sistematis baru-baru ini tentang traksi mekanis untuk nyeri leher selama lebih dari tiga bulan, dengan atau tanpa gejala radikular, menemukan bukti yang tidak cukup untuk merekomendasikan atau menentang penggunaannya dalam pengelolaan gejala kronis. (Jason David Eubanks, 2010) 

Terapi Latihan

Exercise therapy atau terapi latihan yang dapat di berikan fisioterapis untuk kasus Cervical Root Syndrome yaitu:

1.Stretching

Merupakan penguluran otot atau muscle stretching adalah teknik gerakan yang dilakukan untuk meregangkan otot beserta tendon, yang bertujuan untuk mengulur, melenturkan atau menambah fleksibilitas otot-otot yang dianggap bermasalah (Trisnowiyanto, 2017). Berdasarkan hasil penelitian dari Isnaini Kumula Dewi (2015), Stretching dilakukan pada otot para cervical & scalene dan dapat menurunkan rasa nyeri. Jika dilakukan setiap hari dengan kontraksi satu set dua puluh per hari, memungkinkan adanya perubahan metabolic pada otot sehingga ketegangan otot akan mengendur (Kisner, 2002 dikutip dari Dewi, 2015). Terapi latihan stretching dan intervensi TENS selama 3x seminggu dengan intensitas latihan dalam satu kali pertemuan yaitu 8 repetisis x 2 set dan hold selama 6-8 detik menunjukkan hasil yang signifikan terhadap penurunan nyeri pada leher, peningkatan kekuatan otot pada leher, dan peningkatan kemampuan aktivitas fungsional.(Vina Rosida dkk., 2022)

2.Hold relax

Merupakan penerapan konsep dari Proprioceptive Neuromuscular Facilitation yang digunakan untuk membentuk kekuatan dan daya tahan otot, untuk memfasilitasi stabilitas, mobilitas, control neuromuscular dan koordinasi gerakan serta sebagai dasar untuk perubahan fungsi (Universitas Udayana, 2018). Hold rilex dilakukan pada otot para cervical, dengan menggunakan kontraksi isometrik secara optimal dari kelompok otot antagonis yang memendek, diikuti dengan relaksasi yang bertujuan untuk mengurangi spasme otot (Dewi, 2015).

Latihan berupa gerakan aktif bertujuan untuk mengkontraksikan otot-otot leher yang kemudian berelaksasi akan merangsang reseptor melebarkan dinding kapiler pada otot dan meningkatkan permeabilitas dinding kapiler. Sehingga akan merelaksasi otot dan meningkatkan sirkulasi darah dalam memecah jaringan otot yang tegang serta mengurangi spasme otot (Mardiman, 2001 dikutip dari Dewi, 2015). Dari hasil penelitiannya Ahmed (2015) yang dikutip dari Dewanto (2018) juga menjelaskan mengenai hold relax yang efektif untuk meningkatkan fleksibilitas otot melalui relaksasi komponen kontaktil otot. Hold Relax dapat dilakukan sebanyak 3x dalam seminggu dan berlangsung 4 minggu atau 12 x pertemuan dengan hold 3 x 7-10 detik. (Kashyap dkk., 2018).

3.Neck Calliet Exercise

Adalah salah satu terapi latihan yang diberikan kepada penderita CRS yang sangat efektif atau berpengaruh dalam efek yang signifikan terhadap penurunan atau pengurangan nyeri hingga 38% dan digunakan sebagai teknik khusus dalam fasilitasi neuromuskuler propioseptif untuk meningkatkan daya tahan dan memperkuat otot-otot yang lemah. Tujuan dari latihan ini adalah untuk mengatasi spasme otot, mempertahankan atau meningkatkan kekuatan otot leher dalam resistensi leher statis dan dinamis, mempertahankan gerakan sendi lebar dan fleksibilitas leher, dan mendapatkan postur yang benar dengan koreksi ketidakseimbangan otot. Intervensi neck calliet exercise dapat menurunkan atau mengurangi nyeri serta mengembalikan gerak sendi menjadi full Ranges of Motion (ROM) berdasarkan prinsip Post Isometric Relaxation (PIR) (Jehaman et al., 2020). Neck Calliet Exercise dapat dilakukan dengan intensitas 10x repetisi (6 hiungan) selama 10 menit dan dilakukan 2x dalam sehari (Ade Fitri dkk.,2012

 Daftar Pustaka

 Jason David Eubanks. (2010). “Cervical radiculopathy: nonoperative management of neck pain and radicular symptoms 2010 1;81(1):33-40. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/20052961/ . Diakses pada 26 Maret 2023

Bayu Prastowo.Cervical Root Syndrome.  https://www.academia.edu/19627631/CERVICAL_ROOT_SYNDROME. Diakses pada tanggal 15 Maret 2023

Dewi Wulaningsih, Yohanes Deo Fau, Angria Pradita, Achmad Fariz. (2022). “Pengaruh Neurodynamic Mobilization Terhadap Perubahan Kemampuan Aktivitas Fungsional Pada Pasien Cervical Root Syndrome Di Rumah Sakit Universitas Brawijaya Malang”. https://ejournal.umm.ac.id/index.php/physiohs/article/download/21864/11056/71369. Diakses pada tanggal 16 Maret 2023

Med Arh. (2013) . “Cervical Syndrome – the Effectiveness of Physical Therapy Interventions”. https://www.researchgate.net/publication/270654205_Cervical_Syndrome_-_the_Effectiveness_of_Physical_Therapy_Interventions/link/54bc5c3a0cf24e50e94049f5/download. Diakses pada tanggal 15 Maret 2023

Dr.dr. Ridha Dharmajaya, SpBS.(2017). “Buku Referensi : Spondylosis Cervical”. https://dupakdosen.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/69389/Fulltext.pdf?sequence=1&isAllowed=y. Diakses pada 18 Maret 2023

Nugraha, Y. K. A. (2015). Penatalaksanaan Fisioterapi pada Kasus Cervical Root Syndrome di RST. DR. Soedjono Magelang. Jawa Tengah: Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Susanto, H. A. (2013). Penatalaksanaan Fisioterapi dengan Modalitas Infrared (IR), TENS, dan Terapi Latihan pada Kasus Cervical Root Syndrome Dextra di RST Dr. Soedjono Magelang. Jawa Tengah: Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Widodo, S. (2015). Penatalaksanaan Fisioterapi pada Kasus Cervical Root Syndrome di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Jawa Tengah: Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Fadilah, R. (2018). Penatalaksanaan Fisioterapi pada Kondisi Cervical Root Syndrome (CRS) di Rumah Sakit TK. II Dr. Soedjono Magelang. Jawa Tengah: Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Dewi, I. K. (2015). Penatalaksanaan Fisioterapi pada Kasus Cervical Root Syndrome dengan Modalitas TENS dan Terapi Latihan di RSUD Saras Husada Purworejo. Jawa Tengah: Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Dewanto, A., P. (2018). Penatalaksanaan pada Kasus Cervical Root Syndrome di RSUP. Dr.

Sardjito Yogyakarta. Jawa Tengah: Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Jehaman, I., Mendrofa, M. P., Berampu, S., & Bintang, S. S. (2020). Pengaruh Pemberian Neck Calliet Exercise Terhadap Di Unit Pelaksana Teknis Daerah Puskesmas Hiliduho Tahun 2020. Jurnal Keperawatan Dan Fisioterapi (JKF), 3(1), 42-49. Https://Doi.Org/10.35451/Jkf.V3i1.508 .Dikases pada 26 Maret 2023

Vina Rosida, Totok Budi Santoso, Taufik Anwar, Farid Rahman. (2022). Jurnal  Kesehatan dan Masyarakat (Jurnal  Ke Fis) Vol 2 Nomor 2  Hal 26-32

Ade Fitri, Asmallah Putri Wandasari, Irman Galih Prihantoro, Nabila Fatana, Vertilia Desi. (2012). PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS BRACHIALGIA et causa SPONDYLOARTHROSIS CERVICAL.https://www.academia.edu/8402727/PENATAAKSANAAN_FISIOTERAPI_PADA_KASUS_BRACHIALGIA_et_causa_SPONDYLOARTHROSIS_CERVICAL . Diakses pada 30 Maret 2023

Kashyap, Richa, Ikbal, Amir, Alghadir, Ahmad, H,. 2018. Controlled intervention to compare the efficacies of manual pressure release and the muscle energy technique for treating mechanical neck pain due to upper trapezius trigger points. Journal of Pain Research. Vol. 11. pag.3151–3160