Yuk Kenali Tanda dan Gejala Rheumatoid Arthritis (RA), serta Hindari Komplikasinya!
Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun yang etiologinya belumdiketahui dan ditandai oleh sinovitis erosif yang simetris dan pada beberapa kasusdisertai keterlibatan jaringan ekstra artikular. Perjalanan penyakit RA ada 3 macam yaitu monosiklik (hanya mengalami satu episode AR dan selanjutnya akan mengalami remisi sempurna), polisiklik (menderita penyakit ini sepanjang hidupnya dengan hanya diselingi oleh beberapa masa remisi yang singkat) dan sebagian kecil lainnya akan menderita AR yang progresif dan juga disertai dengan penurunan kapasitas fungsional yang menetap. Sebagian besar kasus perjalananya kronik kematian dini (Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia,2014). Kata arthritis berasal dari bahasa Yunani, “arthon” yang berarti sendi, dan “itis” yang berarti peradangan. Secara harfiah, arthritis berarti radang pada sendi. Sedangkan Rheumatoid Arthritis adalah suatu penyakit autoimun Dimana persendian (biasanya tangan dan kaki) mengalami peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan seringkali menyebabkan kerusakan pada bagian dalam sendi (Febriana,2015).
1. Faktor Genetik
Faktor genetik sangat berperan aktif dalam RA ini. Sekitar 50% dari risiko untuk mengembangkan RA. Juvenile idiopathic arthritis (JIA), juga dikenal sebagai juvenile rheumatoid arthritis (JRA), adalah kelompok heterogen penyakit yang sangat berbeda dari RA dewasa. JIA diketahui memiliki sifat genetik yang kompleks di mana banyak gen penting untuk timbulnya dan manifestasi penyakit, dan ditandai dengan radang sendi yang dimulai sebelum usia 16 tahun, bertahan selama lebih dari 6 minggu, dan tidak diketahui asalnya. Beberapa peneliti menyarankan bahwa masa depan pengobatan dan pemahaman RA mungkin didasarkan pada pencetakan dan epigenetik. RA secara signifikan lebih umum pada wanita daripada pria, yang menunjukkan bahwa pencetakan genom dari orang tua berpartisipasi dalam ekspresinya. Pencetakan ditandai dengan metilasi diferensial kromosom oleh orang tua asal, menghasilkan ekspresi diferensial gen ibu atas ayah.
Epigenetik adalah perubahan ekspresi DNA yang disebabkan oleh metilasi yang disebabkan oleh lingkungan dan bukan karena perubahan struktur DNA. Jelas, satu fokus penelitian akan berada pada faktor lingkungan dalam kombinasi dengan genetika imun.
2. Agen Infeksi
Selama beberapa dekade, banyak agen infeksi telah disarankan sebagai penyebab potensial RA, termasuk organisme Mycoplasma, virus Epstein-Barr (EBV), dan virus rubella. Sudah banyak sekali yang membuktikan bahwa RA ini juga disebabkan oleh virus dan bakteri seperti:
Bukti yang muncul juga menunjukkan hubungan antara RA dan bakteri periodontopathic. Misalnya, cairan sinovial pasien RA telah ditemukan mengandung antibodi tingkat tinggi terhadap bakteri anaerob yang biasanya menyebabkan infeksi periodontal, termasuk Porphyromonas gingivalis.
3. Faktor Hormonal
Hormon seks mungkin memainkan peran dalam RA, sebagaimana dibuktikan oleh jumlah wanita yang tidak proporsional dengan penyakit ini, perbaikannya selama kehamilan, kekambuhannya pada periode postpartum awal, dan berkurangnya insiden pada wanita yang menggunakan kontrasepsi oral. Hiperprolaktinemia dapat menjadi faktor risiko untuk RA.
4. Faktor Gaya Hidup dan Pekerjaan
Penggunaan tembakau adalah faktor risiko gaya hidup utama untuk RA. Faktor genetik dapat lebih meningkatkan risiko bagi seorang perokok dengan dua salinan HLA-SE berada pada risiko 40 kali lipat lebih tinggi terkena RA. Pada mantan perokok, risiko mungkin tidak kembali ke tingkat non-perokok hingga 20 tahun setelah berhenti merokok.
Faktor risiko diet untuk RA meliputi:
Sebuah tinjauan data dari Nurses 'Health Study, yang menilai 5 faktor gaya hidup (merokok, konsumsi alkohol, indeks massa tubuh, aktivitas fisik, dan diet), menemukan bahwa gaya hidup sehat dikaitkan dengan risiko RA yang lebih rendah. Perkiraan risiko yang disebabkan populasi adalah bahwa 34% dari insiden RA dapat dicegah jika peserta mengadopsi ≥4 faktor gaya hidup sehat.
5. Faktor Imunologi
Semua elemen imunologi utama memainkan peran mendasar dalam memulai, menyebarkan, dan mempertahankan proses autoimun RA. Orkestrasi yang tepat dari peristiwa seluler dan sitokin yang mengarah pada konsekuensi patologis (misalnya, proliferasi sinovial dan penghancuran sendi berikutnya) adalah kompleks, melibatkan sel T dan B, sel penyaji antigen (misalnya, sel B, makrofag, dan sel dendritik), dan berbagai sitokin. Produksi menyimpang dan regulasi sitokin proinflamasi dan anti-inflamasi dan jalur sitokin ditemukan di RA. Sel B penting dalam proses patologis dan dapat berfungsi sebagai sel penyaji antigen. Sel B juga menghasilkan banyak autoantibodi (misalnya, RF dan ACPA) dan mengeluarkan sitokin.
Membran sinovial hiperaktif dan hiperplastik akhirnya diubah menjadi jaringan pannus dan menyerang tulang rawan dan tulang, dengan yang terakhir terdegradasi oleh osteoklas yang diaktifkan. Perbedaan utama antara RA dan bentuk-bentuk lain dari arthritis inflamasi, seperti arthritis psoriatis, tidak terletak pada pola sitokin masing-masing tetapi, lebih tepatnya, dalam potensi yang sangat merusak dari membran sinovial RA dan dalam autoimunitas lokal dan sistemik. (Volkov W, dkk 2020)
6. Jenis Kelamin
Insiden RA biasanya dua sampai tiga kali lebih tinggi pada wanita daripada pria. Timbulnya RA, baik pada wanita dan pria tertinggi terjadi di antara pada usia enam puluhan. Mengenai sejarah kelahiran hidup, kebanyakan penelitian telah menemukan bahwa wanita yang tidak pernah mengalami kelahiran hidup memiliki sedikit peningkatan risiko untuk RA. Kemudian berdasarkan populasi Terbaru studi telah menemukan bahwa RA kurang umum di kalangan wanita yang menyusui. Salah satu sebab yang meningkatkan risiko Rheumatoid Arthritis pada wanita adalah menstruasi. Setidaknya dua studi telah mengamati bahwa wanita dengan menstruasi yang tidak teratur atau riwayat menstruasi dipotong (misalnya, menopause dini) memiliki peningkatan risiko RA.
Faktor risiko dalam peningkatan terjadinya RA diantaranya adalah jenis kelamin, genetik atau riwayat keluarga, usia, gaya hidup seperti merokok, dan konsumsi kopi lebih dari tiga cangkir sehari, khususnya kopi decaffeinated. (Suarjana, 2009). Obesitas juga merupakan salah satu faktor risiko dalam RA (Symmons, 2006).
Kerusakan sendi diawali dengan reaksi inflamasi dan pembentukan pembuluh darah baru pada membran sinovial. Kejadian tersebut menyebabkan terbentuknya pannus, yaitu jaringan granulasi yang terdiri dari sel fibroblas yang berproliferasi, mikrovaskular dan berbagai jenis sel radang. Pannus tersebut dapat mendestruksi tulang, melalui enzim yang dibentuk oleh sinoviosit dan kondrosit yang menyerang kartilago. Di samping proses lokal tersebut, dapat juga terjadi proses sistemik. Salah satu reaksi sistemik yang terjadi ialah pembentukan protein fase akut (CRP), anemia akibat penyakit kronis, penyakit jantung, osteoporosis serta mampu mempengaruhi hypothalamic-pituitaryadrenalaxis, sehingga menyebabkan kelelahan dan depresi (Choy, 2012). Pada keadaan awal terjadi kerusakan mikrovaskular, edema pada jaringan di bawah sinovium, poliferasi ringan dari sinovial, infiltrasi PMN, dan penyumbatan pembuluh darah oleh sel radang dan trombus. Pada RA yang secara klinis sudah jelas, secara makros akan terlihat sinovium sangat edema dan menonjol ke ruang sendi dengan pembentukan vili. Secara mikros terlihat hiperplasia dan hipertropi sel sinovia dan terlihat kumpulan residual bodies. Terlihat perubahan pembuluh darah fokal atau segmental berupa distensi vena, penyumbatan kapiler, daerah trombosis dan pendarahan perivaskuler. Pada RA kronis terjadi kerusakan menyeluruh dari tulang rawan, ligamen, tendon dan tulang. Kerusakan ini akibat dua efek yaitu kehancuran oleh cairan sendi yang mengandung zat penghancur dan akibat jaringan granulasi serta dipercepat karena adanya Pannus (Putra dkk,2013).
Perkembangan RA biasanya dikategorikan dalam empat tahap:
Terdapat beberapa kesulitan dalam mendeteksi dini penyakit RA. Hal ini disebabkan oleh onset yang tidak bisa diketahui secara pasti dan hasil pemeriksaan fisik juga dapat berbeda-beda tergantung pada pemeriksa. Meskipun demikian, penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa alat ukur diagnosis RA dengan ARA (American Rheumatism Association) yang direvisi tahun 1987 memiliki sensitivitas 91%. Hasil laboratorium yang digunakan dalam mendiagnosis RA ditemukan kurang sensitif dan spesifik. (Bresnihan, 2002)
Berikut adalah kriteria ARA (American Rheumatism Association) yang direvisi tahun 1987 yang masih dapat digunakan dalam mendiagnosis RA:
Diagnosa RA, jika sekurang-kurangnya memenuhi 4 dari 7 kriteria di atas dan kriteria 1 sampai 4 harus ditemukan minimal 6 minggu. Selain kriteria diatas, dapat pula digunakan kriteria diagnosis RA berdasarkan skor dari American College of Rheumatology (ACR/Eular) 2010. Jika skor ≥6, maka pasien pasti menderita RA. Sebaliknya jika skor <6 pasien mungkin memenuhi kriteria RA secara prospektif (gejala kumulatif) maupun retrospektif (data dari keempat domain didapatkan dari riwayat penyakit) (Putra dkk,2013).
1.Kompres Hangat / Dingin
Penggunaan kompres hangan/dingin. Terapi hangat dan dingin digunakan pada kondisi akut dan kronis. Kompres dingin biasanya digunakan pada pasien yang mengalami kondisi akut, dan kompres hangat digunakan pada tahapan rheumatoid arthritis kronis. Kompres hangat biasanya digunakan selama 10–20 menit sekali atau dua kali sehari.
2.Terapi TENS
Elektrostimulasi digunakan pada pasien RA untuk menghilangkan rasa sakit. Terapi stimulasi saraf listrik transkutan (TENS) adalah metode yang paling umum digunakan. Berbagai penelitian telah melaporkan peningkatan kekuatan genggaman tangan setelah penggunaan TENS selama 15 menit setiap hari dan penurunan rasa sakit setelah menggunakan TENS seminggu sekali selama 3 minggu.
3.Hidroterapi
Istilah “hidroterapi” digunakan untuk membedakan terapi air panas dan air miner, namun saat ini istilah tersebut sering digunakan secara bergantian. Dalam beberapa tahun terakhir, hidroterapi telah menjadi salah satu alternatif terapi pada penyakit reumatoid lainnya, khususnya pada penyakit degeneratif kronis. Tujuan hidroterapi adalah untuk meningkatkan ROM, memperkuat otot, meredakan kejang otot yang menyakitkan, dan meningkatkan kesejahteraan pasien. (Kavuncu,dkk 2004).
1. Meremas Tangan
2. Melatih bagian biceps (lengan)
Penyakit Rheumatoid Arthritis (RA) ini sering terjadi pada lansia akan tetapi tidak juga RA ini dapat diderita oleh orang yang obesitas. Dikarenakan memiliki berat badan yang berlebih sehingga tulang akan mudah rapuh. RA ini juga memiliki tanda-tanda awal yang dapat terjadi seperti kekauan pada sendi dimana pasien akan susah bergerak dan RA ini dapat dicegah lebih awal dengan rutin berolahraga dan juga menjaga berat badan agar selalu ideal. Namun jika RA sudah parah maka bisa datang ke fisioterapi untuk diberi terapi Latihan agar nyeri yang dialami pada pasien sedikit berkurang dan pasien dapat melakukan aktivitasnya. Selain itu kami juga bisa memberikan cara untuk mengurangi penyakit RA ini yaitu dengan cara :
Putra,T.R., Suega,K., Artana,I.G.N.B. (2013). Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Penyakit Dalam. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah
Volkov M, van Schie KA, van der Woude D. Autoantibodies and B Cells: The ABC of rheumatoid arthritis pathophysiology. Immunol Rev. 2020 Mar;294(1):148–63.
Usha Shalini P, Vidyasagar JVS, Kona LK, Ponnana M, Chelluri LK. In vitro allogeneic immune cell response to mesenchymal stromal cells derived from human adipose in patients with rheumatoid arthritis. Cell Immunol. 2017 Apr;314:18–25.
Febriana (2015). Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Rheumatoid Arthritis Ankle Billateral Di RSUD Saras Husada Purworejo. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta
Choy E. (2012). Understanding The Dynamics: Pathway Involved In The Pathogenesis Of Rheumatoid Arthritis. Oxford University Press on behalf of the British Society for Rheumatology, 51,
Suarjana, I Nyoman. 2009. Arthritis Rheumatoid Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V. Sudoyo, A. W., Setiyohadi, B., Alwi Idrus, et al. Jakarta : Interna Publishin
Bresnihan B. (2002). Rheumatoid Arthritis: Principles of Early Treatment. The Journal of Rheumatology, 29(66),.9-12
Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia. (2014). Diagnosis dan Pengelolaan Artritis Reumatoid. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. ISBN
Kavuncu V, Evcik D. Physiotherapy in rheumatoid arthritis. MedGenMed. 2
Tim Petrie, D. O. (2024, Februari). Manfaat Terapi Fisik RA untuk Kesehatan Sendi