UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
INTELLIGENCE TO BE ADVANCE
Alamat : Jl. Seroja, Gang Jeruk, Kelurahan Tonja Denpasar Utara, Bali 80239
Telp : (0361) 4747770 | 081238978886 | 085924124866
Email : iik.medali[at]gmail.com
UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
INTELLIGENCE TO BE ADVANCE
SULIT MENGGERAKKAN SATU SISI WAJAH? WASPADA BELL'S PALSY !!!
  23 January 2025 - Dibaca 28 kali
  Oleh Administrator
Definisi

Bell’s palsy disebut juga paralisis fasial idiopatik didefinisikan sebagai kelemahan wajah bersifat akut, mengenai saraf tunggal, unilateral, dan termasuk kelemahan fasial tipe lower motor neuron (LMN) tanpa penyebab pasti (Putri, 2022). Neuron motorik bawah (Lower Motor Neuron atau LMN) adalah jenis neuron yang bertugas mengirimkan sinyal dari sumsum tulang belakang menuju otot. Ketika terjadi lesi pada LMN, gejala yang mungkin muncul meliputi: kelemahan otot yang terasa lemas, penyusutan massa otot (atrofi), kedutan otot (fasikulasi), serta penurunan atau bahkan hilangnya refleks. Bell’s palsy adalah kelumpuhan atau kelemahan mendadak pada otot-otot wajah yang disebabkan oleh disfungsi saraf fasialis (saraf kranial VII). Kondisi ini bersifat akut, unilateral, dan umumnya tanpa penyebab yang jelas (idiopatik). Bell’s palsy ditandai oleh paralisis tipe lower motor neuron (LMN) yang melibatkan otot wajah bagian atas dan bawah, sering kali mencapai puncaknya dalam 72 jam sejak onset. Penyakit ini dapat sembuh spontan, tetapi derajat pemulihan bervariasi, tergantung pada tingkat kerusakan saraf.

Bell’s palsy ini di mana lebih banyak menyerang pada pasien diabetes melitus, wanita hamil terutama saat trimester ke tiga dan awal pos partum memiliki risiko terjadinya bell’s palsy sampai 3 kali dibandingkan populasi umum (Setiarini, 2021). Untuk melakukan diagnosis yang dilakukan terlebih dahulu adalah mengeliminasi penyebab lain paresis atau paralisis wajah yaitu seperti neoplasma, trauma, kongenital, infeksi spesifik, atau kelemahan post operasi.  

Etiologi

Sesungguhnya, etiologi bell’s palsy masih belum jelas. Terdapat tiga teori yang dianggap menjadi menyebab bell’s palsy, yaitu:

  1. Virus. Reaktivasi infeksi virus inilah yang diduga menjadi salah satu penyebab dari Bell’s palsy. Beberapa virus yang aktif berperan dalam kondisi ini antara lain adalah varicella zoster, herpes simplex virus tipe 1 (HSV-1), dan human herpes virus 6. Sebagian besar kasus Bell's palsy dikaitkan dengan virus herpes, yang memiliki kecenderungan untuk menyerang neuron perifer. Di antara virus-virus ini, HSV-1 dianggap sebagai penyebab utama dari Bell’s palsy. Virus HSV-1 memasuki tubuh manusia melalui permukaan mukosa, seperti mulut atau hidung, dan menginfeksi jaringan tubuh. Setelah infeksi awal, virus ini tidak sepenuhnya hilang, tetapi menjadi dorman (tidur) di dalam ganglia, yaitu kumpulan sel saraf di sepanjang sistem saraf manusia, dan tetap ada sepanjang hidup individu tersebut. Dalam kondisi tertentu, seperti ketika sistem kekebalan tubuh melemah, virus ini dapat teraktivasi kembali.Reaktivasi ini dapat memicu gejala Bell’s palsy karena adanya gangguan pada fungsi saraf wajah. Aktivasi kembali virus herpes pada saraf wajah dapat menyebabkan kerusakan melalui dua mekanisme utama: apoptosis, yaitu kematian sel saraf secara terprogram, dan degradasi intra-aksonal, yaitu kerusakan pada bagian dalam akson atau serabut saraf. Respon lokal dari saraf terhadap virus ini mengakibatkan gangguan yang menyebabkan kelemahan atau kelumpuhan pada otot wajah, yang merupakan tanda utama Bell’s palsy.
  2. Iskemia atau berkurangnya aliran darah ke saraf, menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kasus Bell’s palsy yang tidak mengalami pemulihan. Pada beberapa kasus, kekurangan pasokan darah ke saraf wajah dapat menyebabkan perubahan pada struktur saraf, seperti penebalan selubung saraf. Penebalan ini mengarah pada pembentukan jaringan fibrosa, yang pada akhirnya memperburuk kondisi saraf melalui proses kompresi atau penyempitan saraf (Putri, 2022). Akibat dari kondisi ini, saraf yang terjepit mengalami tekanan berlebih, menghambat aliran darah dan suplai oksigen yang diperlukan untuk regenerasi dan pemulihan. Dengan adanya kompresi yang berkelanjutan, proses penyembuhan Bell’ palsy pun menjadi lebih lambat atau bahkan terhenti. Fibrosis yang terbentuk ini membuat pemulihan semakin sulit, mengakibatkan beberapa pasien mengalami kelumpuhan atau kelemahan wajah yang bertahan lama.
  3. Autoimun. Hipotesis autoimun pada kasus Bell’s palsy didasarkan pada adanya penurunan sel T supresor dan peningkatan limfosit B yang dibarengi dengan peningkatan interleukin-1, interleukin-6, dan tumor necrosis factoralpha (TNF-α) . 
Tanda dan Gejala 

Tanda dan Gejala dari Bell’s palsy yakni:

  1.  Kelemahan wajah yang tiba-tiba terjadi secara cepat dan sering dalam beberapa jam. 
  2. Ketidakmampuan menutup mata dengan sempurna, sehingga mata menjadi kering karena tidak bisa menutup mata dengan sempurna
  3. Keluarnya air mata berlebihan (epifora)
  4. Sudut mulut terjatuh
  5. Gangguan/hilangnya sensasi perasa pada sisi ipsilateral
  6. Kesulitan mengunyah disebabkan adanya kelemahan otot ipsilateral yang menyebabkan makanan terperangkap di mulut yang terkena menetesnya air liur
  7. Adanya perubahan sensasi di wajah yang terkena Bell’s Palsy
  8. Adanya nyeri di dalam atau belakang telinga
  9. Terjadi peningkatan sensitivitas terhadap suara (hiperakusis) pada sisi yang sakit jika mengenai otot stapedius(Setiarini, 2021). 
 Pemeriksaan Fisioterapi

Pemeriksaan fisioterapi dimulai dengan menggunakan Ugo Fisch Scale.  Ugo Fisch Scale merupakan pemeriksaan yang dilakukan untuk pemeriksaan motoric dan mengevaluasi kemampuan motorik otot wajah pada penderita bell’s palsy. Penilaian akan di lakukan pada lima posisi yaitu saat istirahat, mengerutkan dahi, menutup mata, tersenyum dan bersiul. Saat melakukan semua gerakan pemeriksaan tersebut fisioterapis akan menilai simetris atau tidaknya antara sisi sakit dengan sisi yang sehat.

Gerakan aktif wajah juga dievaluasi, termasuk kemampuan pasien mengangkat alis, menutup mata rapat, meniup pipi, dan menunjukkan gigi. Fungsi simetri wajah dibandingkan antara sisi yang sehat dan yang terkena. Pemeriksaan ini dilengkapi dengan penggunaan Skala House-Brackmann untuk menentukan tingkat keparahan paralisis.  

Berikut adalah penataan ulang dari penjelasan tentang diagnosis Bell's Palsy dan Skala House-Brackmann:

  1. Bell’s Palsy Diagnosis dan Skala House-Brackman. Bell’s palsy didiagnosis secara klinis dengan ciri khas berupa paralisis fasialis tipe LMN (Lower Motor Neuron) yang muncul secara akut, melibatkan otot wajah bagian atas dan bawah, dan mencapai puncaknya dalam waktu 72 jam (Eviston et al., 2015). 
  2. Skala House-Brackmann, digunakan sebagai alat untuk mendokumentasikan tingkat keparahan paralisis fasialis serta untuk memperkirakan kemungkinan kesembuhannya. Skala ini mengevaluasi ekspresi wajah dan kesimetrisannya, baik saat wajah dalam kondisi istirahat maupun saat bergerak. Secara umum: 
  1. Pasien yang masih dapat menggerakkan wajah dan memiliki paralisis yang tidak lengkap cenderung memiliki prognosis kesembuhan yang baik.
  2. Pasien yang berada di Grade VI pada Skala House-Brackmann cenderung mengalami proses kesembuhan yang lebih lama atau bahkan tidak lengkap, menurut Zandian dikutip dari (Setiarini, 2021)

Skala House-Brackmann ini diterima secara luas dan digunakan secara   internasional dalam penilaian paralisis fasialis Zandian dikutip dari (Setiarini, 2021)

 

 c. Penjelasan Skala House-Brackmann (I hingga VI)

  1. Grade I: Menunjukkan fungsi saraf fasialis normal. 
  2. Grade II: Disfungsi ringan, dengan ciri-ciri berikut:

  1. Kelemahan ringan pada pemeriksaan.

  2. Terdapat sinkinesis ringan.

  3. Simetris normal saat istirahat.

  4. Gerakan dahi sedikit.

  5. Mata dapat menutup sempurna dengan sedikit usaha.

  6. Asimetri mulut ringan.

  1. Grade III: Disfungsi sedang, dengan ciri-ciri berikut:

  1. Asimetri jelas pada kedua sisi dengan kelemahan ringan.

  2. Adanya sinkinesis, kontraktur, atau spasme hemifasial.

  3. Simetris normal saat istirahat.

  4. Gerakan dahi sedikit hingga sedang.

  5. Mata dapat menutup sempurna dengan usaha.

  6. Gerakan mulut sedikit lemah dengan usaha maksimal.

  1. Grade IV: Disfungsi moderat hingga berat, dengan ciri-ciri berikut:

  1. Kelemahan dan asimetri yang jelas.

  2. Simetris normal saat istirahat.

  3. Tidak ada gerakan pada dahi.

  4. Mata tidak dapat menutup sempurna.

  5. Asimetri mulut terlihat dengan usaha maksimal.

  1. Grade V: Disfungsi berat, dengan ciri-ciri berikut:

  1. Hanya sedikit gerakan yang dapat dilakukan.

  2. Asimetri terlihat saat istirahat.

  3. Tidak ada gerakan pada dahi.

  4. Mata tidak dapat menutup sempurna.

  5. Gerakan mulut sangat minimal.

  1. Grade VI: Paralisis total, dengan ciri-ciri berikut:

  1. Asimetri yang luas.

  2. Tidak ada gerakan sama sekali.

Skala ini memudahkan dokter untuk mengukur tingkat keparahan Bell's palsy dan merencanakan langkah pemulihan yang tepat bagi pasien.

Penatalaksanaan Fisioterapi
  1. Modalitas Fisioterapi

Modalitas fisioterapi bertujuan untuk mempercepat pemulihan fungsi wajah, mencegah komplikasi seperti kontraktur atau sinkinesis, dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Berikut adalah beberapa intervensi yang umum dilakukan:

  1. Infrared. Terapi infrared dilakukan menggunakan inframerah tipe luminous dengan frekuensi 2x dalam seminggu, dengan jarak paparan 45 cm dari permukaan kulit selama 15 menit (Malik Azhar, et al., 2023)
  2.  
  3. Electrical stimulation. Modalitas electrical stimulation dilakukan dengan frekuensi terapi 2x dalam semingu. Peletakkan elektroda secara monopolar, elektroda negatif berbentuk pen digunakan sebagai elektoda aktif yang diletakkan sesuai motor poin, dan elektroda positif diletakkan di posterior cervical. Frekuensi arus 10:100 hZ dengan bentuk triangular. Intensitas disesuaikan dengan toleransi pasien selama 2 menit per motor poin. Motor poin yang dicari adalah untuk gerakan menutup mulutn tersenyum, menutup mata dan mengkerutkan dahi.
  4. Mirror excercise. Intervensi terapeutik yang relatif baru yang berfokus pada menggerakkan anggota tubuh yang tidak rusak. Hal ini adalah bentuk citra dengan cermin digunakan untuk menyampaikan rangsangan visual ke otak melalui pengamatan bagian tubuh yang tidak terpengaruh (Pandeiroth, 2014). Latihan mirror exercise dilakukan 2x seminggu dengan 10 repetisi dalam 5 set tiap gerakan. Gerakan yang termasuk (1) menaikkan alis secara pasif; (2) mengedipkan mata secara pasif; (3) membuka dan menutup mata secara pasif; (4) gerakan meniup mulut secara pasif; dan (5) tersenyum secara pasif (Malik Azhar, et al., 2023)
  5. Massage penting diberikan kepada penderita Bell's Palsy agar tidak terjadi perlengketan pada jaringan superficial seperti otot-otot wajah. Massage wajah juga menjadi penting untuk penderita Bell's Palsy agar meningkatkan vaskularisasi dengan menggunakan mekanisme pumping action pada vena dengan tujuan memperlancar sirkulasi darah limfe. Elastisitas yang terjadi pada otot-otot wajah akan memberikan efek relaksasi (Widhiyanti, 2017). Beberapa teknik Massage yang biasa diberikan yaitu stroking, afflurage, finger kneading.Stroking adalah sebuah teknik di mana menggosokkan tangan tanpa memberikan tekanan di dalamnya dengan arah yang tidak teratur serta tanpa irama dan ritmek (Hardja, 2017). Finger kneading adalah sebuah teknik pijatan yang dilakukan menggunakan jari-jari kemudian digerakkan secara melingkar serta diberikan tekanan, teknik ini dilakukan di sisi wajah yang terkena lesi dengan gerakkan yang digerakkan menuju ke arah telinga. Penerapan Massage di  berikan  selama  12  menit pada  kedua  sisi  wajah. Pada setiap  teknik Massage di berikan 1menit di  beberapa  titik pada  wajah. Efek dari teknik Massage ini adalah memperbaiki sirkulasi aliran darah serta memelihara otot-otot pada wajalı (Hardja, 2017).  
Edukasi Fisioterapi 

Edukasi yang dapat diberikan oleh fisioterapi mengenai Bell's Palsy sangat penting untuk meningkatkan pemahaman pasien dan keluarga tentang kondisi ini serta membantu dalam proses pemulihan. Kita dapat memberikan edukasi kepada pasien dengan cara melanjutkan Latihan yang telah kita berikan kepada pasien dan selalu rajin untuk melakukan terapi agar posisi wajah Kembali seperti semula dan pasien dapat melakukan aktivitasnya dengan baik.

Daftar Pustaka 

Rosadi, R. & Raufe, S., 2022. Kegiatan Fisioterapi Komunitas Pada Pasien Bell’S Palsy Di Rehab Medik Rsud Provinsi Nusa Tenggara Barat.. Jurnal Pengabdian Masyarakat Multidisiplin 5.2, pp. 55-60.

Amalia, S. & Ernawati, T., 2024. Holistic Management of Bells Palsy through Family Medical Approach in Natar Public Health Center. Medical Profession Journal of Lampung, pp. 1165-1171.

Malik Azhar, M. . F., Rahayu, U. B. & Muhammad, N., 2023. PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS BELL’S PALSY SINISTRA DENGAN MODALITAS INFRAMERAH, ELECTRICAL STIMULATION DAN MIME EXERCISE. Journal of Innovation Research and Knowledge, pp. 83-90.

Putri, Z. R., 2022. Bell’s Palsy: Diagnosis dan Tata Laksana. Cermin Dunia Kedokteran, 49(8), p. 431–434.

Setiarini, R., 2021. BELL’S PALSY: SUATU TINJAUAN PUSTAKA. Jurnal Kedokteran , Volume 06, pp. 143-151.

Trisaputra, P. M., Fitriati, N. & Multazam, A., 2024. PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KELUHAN BELL’S PALSY DI RS MUHAMMADIYAH LAMONGAN. Medic Nutricia : Jurnal Ilmu Kesehatan, 2(5), pp. 1-10.

Widhiyanti, Ayu Tri. (2017). Teknik massage efflurage pada ekstremisitas inferior sebagai pemilihan pasif dalam menangani bell's palsy. Jurnal pendidikan kesehatan rekreasi, vol. 3(3), hlm. 9

Hardja, Shinta. (2017). Penatalaksanaan fisioterapi pada kasus bell's palsy dextra di rst soedjono mageleng. Thesis. Hlm. 10-20. Universitas Muhammadiyah Surakarta.