PENANGANAN FISIOTERAPI PADA PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS (PPOK)
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) atau Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) adalah gangguan pernafasan yang ditandai dengan adanya hambatan aliran udara yang persisten dan biasanya bersifat progresif serta berhubungan dengan peningkatan respons inflamasi kronis saluran napas yang disebabkan oleh gas atau partikel iritan tertentu. Eksaserbasi dan komorbid berperan dalam tingkat keparahan penyakit pasien secara keseluruhan. PPOK biasanya berhubungan dengan respons inflamasi abnormal paru terhadap partikel berbahaya dalam udara. PPOK merupakan suatu penyakit multi komponen yang dicirikan oleh terjadinya hipersekresi mukus, penyempitan jalan napas, dan kerusakan alveoli paru-paru. Penyakit tersebut bisa merupakan kondisi terkait bronkitis kronis, emfisema, atau gabungan keduanya (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, 2022).
Penyakit paru obstruksi kronik disebabkan oleh terpapar terlalu lama dengan partikel ataupun gas berbahaya. Merokok merupakan penyebab umum terjadinya PPOK, karena merokok menyebabkan iritasi dan inflamasi yang kemudian dapat mengakibatkan perubahan struktur pada alveoli. Selain itu, yang dapat menyebabkan PPOK yaitu perokok pasif, paparan lingkungan, dan pekerjaan (Nurbadriyah, 2022).
Menurut Gold (2022) faktor resiko terjadinya PPOK terdiri dari :
Orang yang merokok memiliki resiko jauh lebih besar mengalami kelainan pada fungsi paru dan masalah pernafasan. Merokok dinilai sebagai penyebab seseorang terkena PPOK di negara maju dan diperkirakan sebanyak 50-70% (Yawn et al., 2021).
Pasien yang mempunyai disfungsi paru akan menjadi memburuk gejalanya dengan adanya polusi udara. Polusi ini bisa berasal dari luar rumah maupun dari dalam rumah seperti asap pabrik, asap kendaraan bermotor, asap dapur, dan lainlain (Ikawati, 2016).
Pekerjaan juga dapat menjadi penyebab terkena PPOK karena beberapa pekerjaan berisiko menjadi pemicu terkena penyakit ini. Pada pekerja industri keramik yang terpapar debu, pekerja tambang emas dan batu bara, atau pekerja yang terpapar debu katun dan debu gandum, dan asbes, mempunyai risiko yang lebih besar untuk terkena PPOK (Ikawati, 2016).
Faktor genetik berupa alpha-1 antitrypsin (AATD), gen matrik metalloproteinase (MMP-12) dan glutathione S-transferase dapat menyebabkan penurunan pada fungsi paru dan beresiko mengakibatkan PPOK (Gold, 2022).
PPOK bukan merupakan penyakit yang hanya dijumpai pada lansia, namun PPOK sering terjadi pada usia produktif. PPOK paling banyak terjadi pada wanita di bawah 40 tahun. PPOK pada wanita lebih cenderung tidak terdiagnosis dikarenakan tidak merokok, dan mempunyai massa indeks tubuh yang lebih rendah (Gold,2022).
Asma dapat menjadi factor resiko terjadi PPOK, karena adanya keterbatasan aliran udara (Gold, 2022).
Adanya peningkatan kolonisasi bakteri menyebabkan peningkatan inflamasi yang dapat diukur dari peningkatan jumlah sputum atau dahak, peningkatan frekuensi ekserbasi, dan percepatan penurunan fungsi paru, yang mana semua itu dapat meningkatkan risiko kejadian PPOK (Ikawati, 2016).
PPOK merupakan penyakit yang disebabkan karena adanya peradangan pada saluran pernafasan, parenkim paru, dan pembuluh darah paru yang terjadi karena stress oksidatif dan ketidakseimbangan protease-antiprotease yang disebabkan oleh paparan asap rokok ataupun polusi udara yang terjadi di dalam ataupun luar ruangan. PPOK terjadi karena pada bagian luar dinding saluran nafas mengalami peningkatan formasi folikel limfoid yang menyebabkan penebalan pada 13 slauran nafas kecil, sehingga dapat terjadi retriksi pada jalan nafas. Proses yang terjadi tersebut akan mengakibatkan lumen pada saluran nafas mengecil dan berkurang akibat tertumpuknya eksudat inflamasi pada mukosa.
Perubahan stuktur yang terjadi pada paru dapat meningkatkan terjadinya resistensi aliran udara yang disebabkan oleh terperangkapnya udara secara signifikan. Kondisi tersebut akan menghasilkan tanda dan gejala seperti sesak nafas, batuk, dan peningkatan produksi sputum. Hipersekresi mukus pada pasien PPOK apabila tidak segera ditangani akan mengakibatkan infeksi yang dapat memperburuk kondisi dari pasien PPOK (Nurbadriyah, 2022).
Tanda dan gejala yang biasa dialami pasien PPOK sebagai berikut :
Pada kasus PPOK, saat dilakukan pemeriksaan inspeksi umumnya dapat dilakukan baik secara dinamis (bergerak) atau statis (diam) dan ditemukan berupa :
Palpasi merupakan pemeriksaan yang dilakukan dengan menekan bagian tubuh pasien. Pada kasus PPOK palpasi dilakukan untuk mengetahui apakah adanya ketidak simetrisan dari gerakan sangkar torkaks saat bernafas ataupun pemeriksaan taktil fremitus (getaran).
Perkusi merupakan pemeriksaaan yang dilakukan dengan mengetuk sepanjang lapang paru dari pasien guna mengetahui apakah terdapat udara, cairan ataupun massa padat pada area paru. Pada kasus PPOK saat dilakuakan perkusi dapat terdengar suara normal ataupun hipersonor.
Auskultasi merupakan pemeriksaan yang dilakukan dengan menggunakan bantuan stetoskop untuk mengatahui bunyi pernafasan pasien. Pada pasien PPOK dapat ditemukan bunyi pernafasan bronkial disetai tambahan bunyi rjonki dan bunyi wheezing.
Kebugaran fisik rendah : 0 – 3,0 METs
Kebugaran fisik sedang : 3,0 – 5,9 METs
Kebugaran fisik baik : > 6,0 METs
Sumber : https://images.app.goo.gl/ftYHBQM75SzYYV9C6
Metode Pelaksanaan :
Sumber : https://images.app.goo.gl/x9qJmw2VDH6QjGgw9
Metode Pelaksanaan :
Sumber : https://images.app.goo.gl/885ptLTaY31rMKbw7
Metode Pelaksanaan :
Metode Pelaksanaan :
- Pasien berada dalam posisi duduk relaks
- Lalu instruksikan pasien untuk menarik nafas melalui hidung dan menghembuskan nafas melalui mulut atau hidung disesuaikan dengan kemampuan pasien (Breathing control)
- Kemudian minta pasien untuk menarik nafas dalam dan tahan selama 2- 3 detik lalu hembuskan melalui mulut sebanyak 3-5x (Deep breathing)
- Setelah menarik nafas dalam, minta pasien untuk menarik nafas kembali kemudian lakukan batuk dengan mengeluarkan suara “huff” sebanyak 1-2x.
- Tampung sputum atau dahak yang dikeluarkan oleh pasien.
- Kemudian instruksikan pasien kembali untuk menarik nafas melalui hidung dan menghembuskan nafas melalui mulut atau hidung disesuaikan dengan kemampuan pasien (Breathing control)
- Latihan ini dapat dilakukan 2 kali sehari dan disesuaikan dengan kemampuan dari pasien, serta waktu sekitar 5 menit.
Metode Pelaksanaan :
· Pasien diposisikan duduk dengan relaks dengan bagian dada pasien disangga menggunakan bantal
· Minta pasien bernafas pelan dan dalam sebanyak kurang 2 -3x melalui hidung
· Instruksikan pasien untuk bernafas dalam kemudian tahan selama 1 -2/3 detik dan lakukan batuk dengan menggunakan otot - otot abdominal dan otot pernafasan lainnya
· Tampung sekret yang dikeluarkan dan diakhiri dengan
· Pada teknik ini digunakan untuk mengeluarkan sputum atau dahak.
· Latihan ini bisa dilakukan selama 2 kali sehari dan disesuaikan dengan kemampuan pasien serta waktu sekitar 10-15 menit.
Pada pasien yang mengalami Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) dapat melakukan latihan-latihan yang sudah diberikan oleh Fisioterapis secara mandiri atau bisa dengan dibantu dengan pengawasan dari keluarga serta menjaga asupan makanan atau nutrisi serta kualitas tidur, kelola stress serta perawatan diri atau selfcare, dapat menghindari faktor resiko yang dapat memicu perburukan penyakit seperti paparan asap rokok, merokok dan faktor resiko lainnya, dapat melakukan aktivitas fisik ataupun olahraga ringan secara rutin dan serta tetap menggunakan masker saat berkendara atau saat berpergian.
Richard Beasley, A. A. (2020-2022). Global Strategy For The Diagnosis, Management, And Prevention Of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Global Initiative For Chronic Obstructive Lung Disease, 90-110.
Antariksa, B., Djajalaksana, S., Pradjnaparamita., Riyadi, J., & Yunus, F., 2011. Diagnosis dan Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Jakarta: s.n.
Samosir, N. & Sari, D., 2018. Jurnal Ilmiah Fisioterapi. Pengaruh Pemberian Pursed Lips Breathing dan Six Minute Walking Test dengan Infra Red dan Six Minutes Walking Test dapat Meningkatkan Kualitas Hidup Pada Kondisi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). 1(2).
Muhammadiyah, U., Mataram, M., Syifa’ Nurul Baity, D., & Faris Naufal, A. (2023). Seminar Nasional LPPM UMMAT Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Penyakit Paru Obstruksi Kronis : Case Report. 2, 1101–1107.
Qamila, B., Ulfah Azhar, M., Risnah, R., & Irwan, M. (2019). EFEKTIVITAS TEKNIK PURSED LIPS BREATHINGPADA PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK (PPOK): STUDY SYSTEMATIC REVIEW. Jurnal Kesehatan, 12(2), 137.
Hamidah, N. A., Presditia, I. M., & Nugraha, D. A. (2024). Efektivitas Nebulizer, Breathing Control, dan Batuk Efektif Untuk Sesak Napas dan Aktivitas Fungsional. Jurnal Ilmiah Kesehatan, 16(2), 20-27.
Nabila, A., Fatmarizka, T., & Utami, M. N. (2023, August). Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Chronic Obstructive Pulmonary Disease ec Bronchitis: Studi Kasus. In Prosiding Sem