SERING MENGALAMI NYERI SAAT BERJALAN? WASPADA ITU TANDA DARI ADANYA DROP FOOT
Drop foot, atau kaki jatuh, merupakan suatu kondisi yang ditandai dengan ketidakmampuan untuk mengangkat bagian depan kaki saat berjalan sehingga menyebabkan kaki terkulai atau "jatuh". Drop Foot merupakan kelainan gaya berjalan akibat adanya kelumpuhan otot-otot di bagian anterior dari kaki bagian bawah yang mengakibatkan kaki kanan bagian depan sulit atau tidak dapat diangkat karena kelemahan, dan adanya iritasi atau kerusakan pada saraf fibula umum termasuk saraf sciatic. Hal ini menyebabkan orang dengan drop foot nampak sering menyeret kaki bagian depan ketika berjalan (dorsofleksi) (Oktaviani, 2015).
Salah satu penyebab drop foot merupakan kerusakan saraf perifer. Saraf perifer yang terserang adalah Common Peroneal Nerve. Manifestasi klinis yang ditimbulkan sangat khusus yaitu hilangnya fungsi motoric dari gerakan eversi dan ekstensijari-jari kaki dan dorsi fleksi secara keseluruhan ataupun Sebagian dapat terjadi pada ketiga gerakan ataupun salah satu diantaranya. Fungsi sensoris yang terganggu dari common peroneal nerve pada inervasi sensoris yaitu pada bagian dorso lateral tungkai bawah dan maleolus lateral serta punggung kaki dan kelima jari kaki (Rizka, 2014). Gejala utama dari drop foot meliputi kesulitan dalam mengangkat kaki saat berjalan, yang dapat menyebabkan kaki terantuk atau tersandung. Penderita sering mengalami ketidaknyamanan dan kesulitan dalam menjaga keseimbangan saat berjalan, yang dapat memengaruhi aktivitas sehari-hari dan kualitas hidup secara keseluruhan. Pengelolaan dan penanganan drop footmelibatkan diagnosis yang akurat, serta terapi fisik dan modalitas yang sesuai untuk memperbaiki fungsi berjalan dan mengurangi risiko cedera.
Beberapa etiologi atau penyebab yang ditemukan pada pasien drop foot yakni :
1.Gangguan Kompresi
Sindroma terjepitnya saraf fibula di berbagai lokasi sepanjang jalur anatomisnya dapat menyebabkan neuropati kompresif. Neuropati fibula umum di kepala fibula merupakan mononeuropati paling umum yang memengaruhi tungkai. Saraf fibula menjadi superfisial di dekat kepala fibula, sehingga rentan terhadap cedera akibat tekanan. Bisep femoris terletak di antara gastrocnemius dan bisep distal. Variasi anatomi otot bisep femorisdapat membentuk struktur berbentuk terowongan yang dapat menekan saraf. Faktor penyebab lainnya meliputi penurunan berat badan, terbaring di tempat tidur dalam waktu lama, gips yang ketat, lesi yang menempati ruang, dan metastasis tulang yang melibatkan kepala fibula. Telah dilaporkan adanya kompresi saraf skiatik antara dua kepala otot piriformis yang menyebabkan kaki terjatuh. Radikulopati lumbal juga merupakan penyebab umum foot drop. Radikulopati L5 merupakan radikulopati lumbal yang paling umum dan biasanya disebabkan oleh herniasi diskus lumbal atau spondilitis di tulang belakang. Kompresi ekstraforaminal saraf L5 akibat herniasi diskus dan kompresi tulang (osteofit) pada ligamen (ligamen sakroiliaka dan pita lumbosakral) yang diketahui jarang terjadi. Meskipun jarang terjadinya kompresi tulang namun metastasis tulang di kepala fibula dapat menyebabkan adanya drop foot. (Zantvoort et.al,2020)
2.Cedera Traumatis
Cedera traumatis sering terjadi bersamaan dengan cedera ortopedi, seperti dislokasi lutut, fraktur, trauma tumpul, dan cedera muskuloskeletal. Neuropati skiatik paling sering terjadi akibat cedera traumatis pada pinggul atau sekunder akibat pembedahan. Neuropati skiatik merupakan mononeuropati paling umum kedua pada ekstremitas bawah dan biasanya muncul dengan drop foot. Penyebab yang kurang umum adalah pleksopati lumbosakral, akibat cedera traumatis, komplikasi operasi perut atau panggul, atau komplikasi neoplasma atau terapi radiasi. Distad,dkk 2018)
3.Gangguan Neurologis
ALS (Amyotrophic Lateral Sclerosis), juga dikenal Motor Neuron Disease (MND) atau penyakit Lou Gehrig, adalah penyakit neurodegeneratif yang ditandai dengan kematian neuron motorik di sel-sel tanduk anterior yang menyebabkan kelemahan otot, kesulitan berbicara dan menelan. Gejala awalnya bisa berupa kaki yang jatuh tanpa adanya rasa sakit. Cerebrovascular Disease (CVA) atau penyakit pada cerebrovascular ini dapat muncul sebagai hemiplegia.Tanda-tanda lain keterlibatan neuron motorik atas meliputi peningkatan tonus otot, hiperrefleksia, dan sirkumduksi ekstremitas bawah selama ambulasi. Bergantung pada lokasi iskemia, afasia dapat terjadi. Mononeuritis multipleks melibatkan satu atau lebih saraf sensorik dan motorik perifer. Kondisi ini biasanya muncul dengan rasa nyeri dan asimetris. Kondisi ini dapat dikaitkan dengan AIDS, kusta, hepatitis, granulomatosis dengan poliangiitis (granulomatosis Wegener), dan Artritis Rheumatoid. Hilangnya sensasi dan gerakan mungkin terkait dengan disfungsi saraf tertentu. Saraf skiatik adalah salah satu saraf yang paling sering terkena kondisi ini. Vaskulitis arteri epineuria kecil menyebabkan kerusakan akson, mengganggu konduksi saraf, dan akhirnya menyebabkan kelemahan otot. Acute Inflammatory Demyelinating polyneuropathy (AIDP), yang juga disebut sindrom Guillain-Barré merupakan proses autoimun di mana kelemahan motorik progresif, kehilangan sensorik, dan arefleksia merupakan gejala khas. Gejala sensorik sering kali mendahului kelemahan motorik. Disfungsi otonom sering kali menyertai kondisi ini. Kerusakan pada selubung mielin menyebabkan demielinasi segmental. Ciri khas AIDP adalah melambatnya kecepatan konduksi saraf dan blok konduksi. Foot drop dapat menjadi bagian dari gejala klinis. Charcot–Marie Tooth (CMT) adalah neuropati perifer demielinasi kongenital primer dan merupakan salah satu neuropati turunan yang paling umum. Penyakit ini memengaruhi saraf motorik dan sensorik. Salah satu gejala utamanya adalah foot drop dan terjadi penyusutan pada otot tungkai bawah, sehingga tampak seperti "kaki bangau" atau “stork leg” yang khas. Gangguan somatisasi dan reaksi konversi bukanlah penyebab umum drop foot. (Pisciotta,2018)
4.Sindrom Kompartemen
Sindrom kompartemen dapat disebabkan oleh cedera iskemia-reperfusi dan trauma yang memengaruhi kaki. Hal ini dapat menyebabkan iskemia saraf peroneal dan selanjutnya menyebabkan drop foot (Gerhad,dkk 2018).
Tanda dan Gejala Dari Drop Foot
Drop foot atau kaki jatuh merupakan kondisi yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk mengangkat bagian depan kaki saat berjalan. Gejala dan tanda dari drop foot dapat bervariasi, namun umumnya mencakup beberapa ciri khas berikut:
Mengenali tanda dan gejala drop foot sangat penting untuk mendapatkan diagnosis yang tepat dan penanganan yang efektif. Jika seseorang mengalami gejala-gejala ini, sebaiknya mereka segera mencari perhatian medis untuk evaluasi dan perawatan lebih lanjut. Diagnosis yang tepat akan memungkinkan pengembangan rencana terapi yang sesuai untuk mengelola gejala dan meningkatkan kualitas hidup.
Pemeriksaan fisioterapi untuk drop foot bertujuan untuk mengevaluasi fungsi motorik, kekuatan, dan keseimbangan kaki serta untuk menentukan penyebab dan tingkat keparahan kondisi. Proses pemeriksaan ini melibatkan beberapa langkah penting yang dirancang untuk memberikan gambaran menyeluruh mengenai kondisi pasien.
1.Drag or Slap Test
Tes pertama yaitu Drag or Slap Test. Dimana tes ini mengharuskan pengamat, atau subjek tes, untuk mengamati secara visual cara seseorang berjalan. Tes ini meminta pengamat untuk mencari gejala umum foot drop dengan melihat kaki yang terseret atau kaki yang menepuk tanah saat berjalan. Pasien akan di suruh berjalan sekitar 10 hingga 15 langkah. Perhatikan apakah kaki terseret atau kaki menepuk tanah saat melangkah. Ulangi jika perlu. Selain itu, perhatikan juga apakah ada perubahan gaya berjalan dan gangguan keseimbangan.
2. Heel Walk Test
Tes kedua adalah tes berjalan dengan tumit (Heel Walk Test). Pada tes ini, mintalah pasien untuk mencoba berjalan dengan tumitnya sejauh sekitar 10 hingga 15 kaki. Mintalah pasien untuk berpegangan pada meja atau gunakan alat seperti tongkat untuk menjaga keseimbangan dan stabilitas. Perhatikan apakah pasien mengalami kesulitan untuk memulai tes, atau mereka tidak akan mampu menjaga kaki mereka yang cedera tetap di udara sepanjang waktu. Variasi lainnya adalah berdiri di meja dapur dengan tumit dan mencoba menahan jari-jari kaki agar tidak menyentuh tanah. Perhatikan apakah kaki yang cedera tidak terangkat dari tanah atau kembali menyentuh tanah secara perlahan.
3. Manual Muscle Test
Tes ketiga adalah tes otot manual (Manual Muscle Test). Tes ini dapat dilakukan dengan bantuan fisioterapis. Untuk melakukan tes ini, pasien perlu duduk di kursi atau bed dengan kaki yang cedera terentang di depan Anda. Mulailah dengan mencoba mengangkat jari-jari kaki dan telapak kaki pasien dari lantai. Jika pasien dapat mengangkat kaki dari lantai cobalah bantu kaki tersebut bergerak sepenuhnya. Bawa jari-jari kaki ke arah tulang kering. Cobalah untuk menahannya di sana. Jika tidak berhasil dilakukan, ini merupakan tanda positif untuk foot drop. Jika Anda dapat menahan kaki dalam posisi itu, berikan tekanan pada bagian atas kaki, periksa apakah kaki memerlukan tekanan sedang atau lebih sedikit untuk keluar dari posisi menahan. Dengan kata lain, ini merupakan tanda kelemahan.
4. Step Up and Down Test
Tes keempat adalah Step Up and Down Test. Tes ini memerlukan kewaspadaan keselamatan dan keseimbangan yang baik. Tes ini tidak boleh dilakukan jika pasien memiliki keseimbangan yang buruk atau kemungkinan besar terjatuh. Tes ini dilakukan dengan bantuan fisioterapi. Pertama, minta subjek berdiri di depan serangkaian anak tangga, berpegangan pada pegangan tangga untuk mendapatkan dukungan. Kedua, minta mereka naik turun tangga beberapa kali secara perlahan. Setelah itu, ketika mereka merasa yakin dengan gerakan ini, tingkatkan kecepatan naik turun tangga. Perhatikan apakah kaki
1. MRI (Magnestic Resonance Imaging)
Tes ini menggunakan gelombang radio dan medan magnet yang kuat untuk menghasilkan gambar tulang dan jaringan lunak yang terperinci. MRI sangat berguna dalam memvisualisasikan lesi jaringan lunak yang dapat menekan saraf.
2. CT – SCAN
Tes ini mengom binasikan sinar-X dengan komputer untuk mengambil struktur tubuh dari beberapa sudut berbeda untuk mengetahui lokasi terjadinya drop foot.
3. X-RAY
Tes ini menggunakan radiasi rendah untuk menunjukkan jaringan lunak atau luka pada tulang yang dapat menyebabkan gejala pada penderita drop foot.
Penatalaksanaan fisioterapi pada pasien drop foot melibatkan berbagai pendekatan untuk mengatasi gejala, meningkatkan fungsi, dan mengoptimalkan kualitas hidup pasien. Berikut adalah penjelasan mengenai modalitas fisioterapi dan latihan fisioterapi, beserta dosis dan tata cara pelaksanaannya:
1.Modalitas Fisioterapi
Modalitas fisioterapi mencakup berbagai teknik yang digunakan untuk mengurangi nyeri, meningkatkan aliran darah, dan memperbaiki fungsi otot serta saraf. Beberapa modalitas yang umum digunakan dalam penatalaksanaan drop foot adalah sebagai berikut:
a. Infra Red (IR)
Dosis: 2-3 kali per minggu dengan waktu pemberian setiap 15 menit sekali.
Tata Cara Pelaksanaan: Infra Red (IR) di letakkan sekitar lumbal hingga kaki sampai Ankle Dextra maupun Sinistra selama 10-15 menit dengan jarak 30-45 cm.
b. Electrical Stimulation (ES)
Frekuensi : 5Hz dengan durasi arus 100 ml/detik
Dosis : 15 menit 2 kali seminggu
Tata Pelaksanaan : Pad / elektroda akan ditempatkan pada sisi anterior tungkai bawah bagian tibialis anteriordan peroneus.
Exercise Fisioterapi
Beberapa exercise ini dapat mengurangi adanya penyakit drop foot dengan berfokus pada penguatan otot, meningkatkan rentang gerak, dan memperbaiki koordinasi serta keseimbangan. Berikut adalah beberapa latihan umum untuk penatalaksanaan drop foot, termasuk dosis dan tata cara pelaksanaannya
a. Latihan ekstensor jari kaki (toe raises):
Dosis: 10-15 repetisi, 2-3 kali sehari.
Tata Cara Pelaksanaan: Berdiri dengan menggunakan alat bantu seperti kursi/meja atau bisa juga dalam posisi duduk, angkat jari kaki ke atas dan tahan selama 2-3 detik sebelum menurunkannya. Latihan ini membantu memperkuat otot ekstensor jari kaki.
b. Latihan flexor pergelangan kaki (ankle dorsiflexion):
Dosis: 10-15 repetisi, 2-3 kali sehari.
Tata Cara Pelaksanaan: Duduk dengan kaki rata di lantai, angkat bagian depan kaki secara perlahan sambil menjaga tumit tetap di tanah. Latihan ini meningkatkan kekuatan otot di bagian depan kaki.
c. Latihan keseimbangan (balance exercises):
Dosis: 5-10 menit per sesi, 1-2 kali sehari.
Tata Cara Pelaksanaan: Berdiri pada satu kaki dengan dukungan jika diperlukan, coba pertahankan keseimbangan selama 10-30 detik. Latihan ini memperbaiki stabilitas dan keseimbangan pada ankle
d. Latihan pergelangan kaki (ankle circles):
Dosis: 10-15 putaran per arah, 2-3 kali sehari.
Tata Cara Pelaksanaan: Duduk atau berdiri, putar pergelangan kaki dalam gerakan melingkar dalam arah yang berbeda. Latihan ini membantu meningkatkan rentang gerak dan fleksibilitas pergelangan kaki.
e. Latihan resistensi (resistance band exercises):
Dosis: 10-15 repetisi per latihan, 2-3 kali sehari.
Tata Cara Pelaksanaan: Gunakan pita resistensi untuk melakukan latihan dorsiflexion, plantarflexion, dan inversion. Tarik pita dengan gerakan perlahan dan terkendali untuk memperkuat otot-otot kaki.
Penatalaksanaan fisioterapi untuk drop foot biasanya melibatkan kombinasi modalitas dan latihan untuk mencapai hasil yang optimal. Fisioterapis akan menyesuaikan dosis dan tata cara pelaksanaan berdasarkan kebutuhan spesifik setiap pasien, memastikan bahwa rencana perawatan efektif dan sesuai dengan kondisi individu.
Bagi pasien yang menderita penyakit Drop Foot ini kami harapkan dapat melakukan pemeriksaan lebih lanjut dan juga dapat melakukan latihan – latihan yang kami berikan secara mandiri di rumah dengan semangat dan sungguh-sungguh agar didapatkan hasil yang maksimal dan untuk aktifitas seperti mengangkat barang berat dikurangi agar tidak memicu terjadinya penyakit serupa. sehingga dapat mempercepat proses penyembuhan pasien.
Oktaviani, D. (2015). Penatalaksnaan Fisioterapi Pada Drop Foot Karena Lesi Nervus Peroneus Dextra di Rsud Sragen. Publikasi Ilmiah. Universitas Muhamadiyah Surakarta. van Zantvoort A, Setz M, Hoogeveen A, van Eerten P, Scheltinga M. Chronic lower leg pain: entrapment of common peroneal nerve or tibial nerve. Unfallchirurg. 2020 Jan;123 (Suppl 1):20-24.
Distad BJ, Weiss MD. Clinical and electrodiagnostic features of sciatic neuropathies. Phys Med Rehabil Clin N Am. 2013 Feb;24(1):107-20.
Pisciotta C, Shy ME. Neuropati. Handb Clin Neurol. 2018; 148 :653-665.
Amin, A. A., Amanati, S., Purnomo, D., & Putra, A. P. ‘Pengaruh Infra Red, Electrical Stimulation dan Terapi Latihan pada Drop Hand et causa Post op Fraktur Humerus’. Jurnal Fisioterapi dan Rehabilitasi 2018. Vol.2, No.1.
Kistiantari, R. (2009). PENATALAKSANAAN TERAPI LATIHAN PADA POST OPERASI FRAKTUR FEMUR 1/3 DISTAL DEXTRA DENGAN PEMASANGAN PLATE AND SCREW DI RSAL DR. RAMELAN SURABAYA (Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah Surakarta).
ANNISYAH, A., Idramsyah, I., Bakara, D. M., & Ratnadhiyani, A. (2020). Asuhan Keperawatan Terapi Latihan pada Pasien Stroke di Ruang Stroke RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu (Doctoral dissertation, Poltekkes Kemenkes Bengkulu).
Wicaksono, A. E. (2012). Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kondisi Ischialgia Bilateral Dengan Modalitas Short Wave Diathermy Dan Traksilumbal Di Rsud Salatiga. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Daniel. (2018). Manual Muscle Testing, techniques of Manual Examination And Ferfomence Testing. China: Elveiser.